KERAJAAN BALI KUNO SEBELUM MASUKNYA MAJAPAHIT
Bali yang dikenal sebagai Pulau Dewata pada zaman duhulu kala sebelum kedatangan majapahit terdapat sebuah kerajaan yang muncul pertama kali di bali yaitu sekitar 914 M yang diketahui dari sebuah prasasti yang ditemukan di desa Blanjong, Sanur, Denpasar yang memiliki pantai matahari terbit. Prasasti itu berangka tahun 836 saka yang menyebutkan bahwa nama rajanya adalah Khesari Warmadewa memiliki istana yang berada di Singhamandawa yang disebut juga Bhumi Kahuripan di sekitar Pura Besakih.
Khesari
Warmadewa adalah Ugrasena pada tahun 915 M – 942 M. Setelah meninggal, abu jenasah dari raja
Ugrasena dicandikan di Air Madatu, lalu digantikan oleh mahkota Jayasingha
Warmadewa (960 M – 975 M). Dikatakan
bahwa raja Jayasingha membangun dua pemandian di desa Manukraya, yang letaknya
sekarang di dekat istana negara Tapaksiring Gianyar.
Raja
Jayasingha Warmadewa digantikan oleh Raja Jayasadhu Warmadewa (975 M – 983 M),
setelah beliau wafat digantikan oleh seorang Ratu yang bernama Sri Maharaja
Sriwijaya Mahadewi (983 M – 989 M). Kemudian
digantikan oleh Dharmodayana (989 M – 1011 M) yang disebut juga Raja
Udayana. Raja Udayana menikah dengan
Gunapriayadharmapatni alias Mahendradatta yang berasal dari kerajaan Medang
Kemulan jawa timur dan dari perkawinannya menghasilkan 3 orang anak yaitu :
Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu.
Kemudian Airlangga menikah dengan putri Raja Dharmawangsa yang merupakan
raja dari jawa timur.
Pada saat
Airlangga berada di Jawa Timur, Raja Udayana digantikan oleh Raja
Marakata. Raja Udayana wafat dan abu
jenazahnya di candikan di Banu Wka. Raja
Marakata diberi gelar Dharmawangsa Wardana Marakatta Pangkajasthana
Uttunggadewa yang memerintah di bali dari 1011 – 1022. Kemudian digantikan oleh Anak Wungsu (1049 –
1077) yang memerintah selama 28 tahun dan dikatakan selama pemerintahannya
keadaan negara aman dan tenteram. Anak
Wungsu tidak memiliki keturunan dan meninggal tahun 1077, beliau di dharmakan
di Gunung Kawi, tepatnya di selatan Tapaksiring. Setelah Anak Wungsu meninggal, keadaan kerajaan
di Bali tetap mengadakan hubungan dengan raja-raja di Jawa.
Suatu ketika, Patih Kebo Iwa
berhasil dibujuk untuk pergi ke Majapahit sebagai sebuah penghargaan terhadap
dirinya oleh Patih Gajah Mada. Hal ini dilakukan karena Patih Gajah Mada dari
Kerajaan Majapahit yang pada saat itu pergi ke Bali untuk menaklukkannya, namun
tidak mampu karena ketangguhan pasukan di bawah pimpinan Patih Kebo Iwa. Ketika sampai di Pulau Jawa,
Patih Kebo Iwa diminta untuk membuatkan sebuah sumur. Dengan kekuatannya, hal
itu tentu menjadi hal yang mudah bagi dirinya. Tetapi, kemudian muslihat pun
dilaksanakan. Ketika Patih Kebo Iwa sedang menggali sumur, sumur itu pun
ditutup dengan tanah dan batu-batu oleh para tentara Kerajaan Majapahit.
Beberapa Prasasti dan Peninggalan
Kerajaan Bali
Sudah menjadi sifat alamiah jika
suatu peradaban meninggalkan berbagai macam benda bersejarah. Demikian juga
dengan Kerajaan ini. Banyak sekali
peninggalan benda bersejarah yang ditinggalkan oleh kerajaan ini, seperti adanya Komplek Candi Gunung Kawi,
terletak di Tampaksiring serta peninggalan prasasti-prasasti berikut ini :
Mantra tersebut sama dengan
mantra yang tertulis di atas pintu Candi Kalasan Jawa Tengah dengan tahun Saka
700/778M. Hal itu mengisyaratkan bahwa sebelum Agama Budha ke Bali terlebih
dahulu berkembang di Jawa, pada pemerintahan Singha Mandawa masuk ke Bali.
Selain tertulis mantra Budha, prasasti tersebut juga menuliskan pemberian ijin
kepada beberapa Bhiksu untuk membangun pertapaan dan pesangrahan di daerah
perburuan bukit Cintamani (Kintamani).
Pada prasasti berangka tahun Saka
813/891M tertulis pemberian ijin kepada orang-orang Desa Turunan yang kemudian
menjadi Desa Tarunyan sekarang bernama Desa Terunyan, untuk membangun bangunan
suci guna memuliakan dan memuja Bethara Da Donta. Bangunan suci yang dimaksud
sekarang bernama Pura Pancering Jagat. Prasasti berangka tahun Saka
804-864/882-942M diketahui adanya nama keraton Singha Mandawa.
Dalam huruf Bali tulisan “pa”
hampir sama dengan “wa”, dengan demikian Singha Mandawa berarti keraton Singha,
kata Mandawa berasal dari kata Mandapa yang artinya istana atau tepatnya
pendapa istana. Kata Singha juga didapatkan pada prasasti berbentuk pilar yang
tingginya 177Cm, diameter 62Cm di Belahjung (Belanjong) Sanur berangka tahun
Saka 835 atau 913M. Pada bagian atas pilar bermahkota bunga teratai, gaya
ukiran mahkotanya serupa benar dengan pilar-pilar yang terdapat di Malaya
ataupun Sriwijaya. Pada prasasti tersebut tertulis Singha Dwara yang bermakna
pintu masuk keraton Singha, dengan demikian ada hubungannya antara Singha Dwara
dengan Singha Mandawa.
Menurut penulisan Narenda Dev.
Pandit Shastri dalam bukunya Sejarah Balidwipa dikatakan prasasti yang
menyebut-nyebut Kerajaan Singha Mandawa ada enam belas buah. Tujuh prasasti
tidak menyebut nama raja atau pemerintahan seperti: prasasti Pura Desa Sukawana
Saka 804, prasasti Bebetin Saka 818, prasasti Pura Desa Gobleg Saka 836, dua
buah prasasti Terunyan Saka 813 dan 833, prasasti Pura Kehen Bangli dan
Anggasari tanpa tahun. Sedangkan selebihnya yaitu sembilan prasasti menyebut
nama raja Ugrasena Sri, dengan demikian Ugrasena Sri adalah keturunan dari Sri
Kesari Warmadewa.
Sebuah piagam mempergunakan
Candra Sangkala berbunyi: “KhēÇara wahni murti” atau Saka 835 atau 913M
berbahasa Bali kuno, diketahui adanya pemerintahan Sri Kesari Warmadewa
pusatnya di Singhamandawa yang sering juga disebut Bhumi Kahuripan di sekitar
Pura Besakih. Kesari bermakna Singha dan Warmadewa adalah identitas dinasti
yang pernah berkuasa di Bali. Dalam Raja Purana disebutkan ada seorang Raja
yang berkuasa di Bali bernama Sri Wira Dhalem Kesari yang tiada lain adalah
Kesari Warmadewa. Beliau amat tekun memuja Dewa-Dewa yang berparhyangan di
Gunung Agung, tempat pemujaan tersebut bernama Mrajan Salonding atau Mrajan
Kesari Warmadewa. (huruf Ç = Sh, jadi Çri = Shri, Keçari = Keshari).
Keberadaan Pura Besakih ketika
itu masih sangat sederhana oleh Sri Kesari Warmadewa atau Sri Wira Dhalem
Kesari tahun 917M dilengkapi beberapa Pura yang kemudian diberinama: Pura
Gelap, untuk memuliakan dan memuja Iswara, Pura Kiduling Kreteg untuk memuja
dan memuliakan Brahma, Pura Ulun Kulkul untuk memuja dan memuliakan Mahadewa,
Pura Batumadeg untuk memuja dan memuliakan Wisnu, Pura Dalem Puri untuk
memuliakan dan memuja Durga, Pura Basukihan untuk memuja dan memuliakan Naga
Basukihan. Sri Kesari Warmadewa atau Sri Wira Dhalem Kesari pula yang
memerintahkan rakyat Bali agar merayakan hari Nyepi setiap tahun pada sasih
Citramasa atau Kesanga yang jatuh sekitar bulan Maret.
Sebuah contoh nyata dari Sri
Kesari Warmadewa, bahwa beliau datang ke Bali untuk menyebarkan Buddha
Mahayana, namun tidak menghilangkan Pura Basukihan yang dibuat oleh Maharsi
Markandeya. Bahkan ikut andil membangun tempat-tempat pemujaan Dewa-Dewa,
karena yang disebarkan adalah keutamaan pengetahuan yang sejati.
Adanya pemerintahan Sri Ugrsena
diketahui berdasarkan 9 buah prasasti yang berangka tahun Saka 837-864/915-942
M, kesembilan prasasti tersebut berhubungan dengan Singha Manadawa. Kata
pembukaan pada prasasti tersebut: “Yumu pakatahu” yang berarti ketahuilah,
kemudian kata penutupnya “Turun di Pangalapuan Singha Mandawa” tidak ada
bedanya dengan prasasti yang dikeluarkan oleh Singha Mandawa lainnya. Kecuali
prasasti yang didapat di Bbahan berbeda pembukaannya, karena ditemukan hanya
selembar plat tembaga sementara prasasti yang lain dua lembar, prasasti ini
menuliskan nama Sang Ratu Sri Ugrasena.
Dalam sebuah pustaka kuno
tertulis: “Tan titanan lawas ira haneng wihara i Parhyangan Puncak Payogan, i
pancampuhaning banyu Oos, wakasan ri Saka 858 wulan palguna ri saklaning
tritya, ri pajenengan sira Sang Ratu Sri Ugrasena ri Balidwipa mandala…..” dan
seterusnya. Artinya tidak dikisahkan lamanya ada di Wihara atau Parhyangan Puncak
Payogan, di Campuhan (pertemuan sungai-sungai) Sungai Oos, kemudian tahun Saka
858 sasih kewulu (sekitar Februari 936), tatkala berkuasanya Sang Ratu Sri
Ugrasena di pulau Bali…..” dan seterusnya.
Sembilan prasasti yang berangka
tahun Saka 837-864/915-942M, garis besarnya menuliskan nama seorang raja yaitu
Ugrasena yang berkuasa di Bali, sedang di Jawa Timur waktu itu diperintah oleh
Raja Sendok atau Sindok. Penulisan tersebut mengisyaratkan bahwa pemerintahan
Sri Ugrasena di Bali sezaman dengan Raja Sendok di Jawa Timur.
Di Desa Pejeng terdapat dua
prasasti di atas batu yang tulisannya sudah tidak jelas, salah satunya hanya
terbaca candra sangkala yang berbunyi: “mantra marga manusasana”, padanan dalam
tahun Saka 841/919M. Prasasti yang lainnya pada dasarnya menginformasikan bahwa
setelah terbakarnya istana Agni Nripti, beliau mendirikan arca pratima Punta
Hyang pada tahun Saka 875/953M. Punta Hyang berarti Mahaguru atau Maharsi
Agastya.
Di daerah Kintamani ada empat
prasasti berangka tahun Saka 877-889, dikeluarkan atas nama Sang Ratu Aji
Tabanendra Warmadewa dengan permaisuri Ratu Sri Subadrika Warmadewi. Adanya
raja tersebut juga ditemukan pada tiga prasasti di Manik Liu yang berangka
tahun Saka 877/955 M, bulan Srawana, tanggal 1, menuliskan nama raja tersebut
di atas. Prasasti di Kintamani yang berangka tahun Saka 889/967M, bhadrapada,
çuklapaksa, tanggal 6, diantaranya tertulis: Sang Ratu sang sidha dewata sang
lumah di air madatu. Yang maksudnya adalah raja Sri Ugrasena.
Adanya raja Candrabhaya Singha
Warmadewa diketahui dari beberapa buah prasasti, Sri Candrabhaya Singha
Warmadewa berkuasa di Bali selama 18 tahun, sejak tahun Saka 878-896/956-974
masehi. Pada piagam dari batu di Desa Manukaya Tampaksiring tertulis: “Swasti
Çakawarsa tita 884 Kartika Çukla(tra) yodani, rgaspasar wijayapura, tatkala
sang ratu (Sri) Candrabhaya Singha Warmadewa, mesamahin tirtha Mpul…….” dan
seterusnya. Yang berarti pada tahun Saka 884, sasih kapat, ketika bulan terang
13 (tanggal ping 13) sekitar Oktober 962, hari pasaran kajeng, pada waktu
itulah Baginda Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa membangun permandian
Tirtha Mpul.
Di Pura Sakenan Desa Manukaya ada
sebuah batu bertuliskan huruf Bali yang ditutup kain putih, setiap tahun
diupacarai di Tirtha Mpul. Tulisan tersebut telah dibaca pertama oleh Dr
Stuuerhein dalam bukunya “Oudheden van Bali” tulisan pada batu tersebut ditulis
pada tahun Saka 884/962M. Nama raja yang tersebut pada tulisan itu adalah
“Candra Bhaya Singha Warmadewa” yang selanjutnya mendirikan Tirtha Mpul. Kedua
dibaca oleh Dr L.C.Damais sarjana Prancis nama raja yang tertulis adalah E(e)
Jaya Singha Warmadewa tahun Saka 882atau 960M. Sumber-sumber pustaka lainnya
menuliskan pendiri Tirtha Mpul pada tahun Saka 884/962M adalah Candrabhaya
Singha Warmadewa, seandainya tulisan tersebut masih utuh mungkin saja nama raja
yang dimaksud adalah Candrabhaya Singha Warmadewae
Adanya nama raja Jana Sadhu
Warmadewa diketahui dari Prasasti di Desa Sembiran Buleleng yang berangka tahun
Saka 897 atau 975M, disana tertulis nama Sang Ratu Sri Jayasadhu Warmadewa.
Selain itu tertulis juga bahwa bila pertapaan Dharmakuta rusak diwajibkan
penduduk Desa Jula Tejakula Buleleng mengadakan perbaikan dibantu oleh Desa
Indrapura, Bubun Dalam dan Hiliran. Bila terjadi perang atau perampokan di
pertapaan Dharmakuta penduduk Desa Jula wajib mempersenjatai diri dan memberi
bantuan.
Sistem
Kepercayaan masyarakat pada masa itu yaitu menyembah banyak dewa yang bukan
hanya berasal dari dewa Hindu & Buddha tetapi juga dari kepercayaan
animisme mereka. Sedangkan mata
pencaharian penduduknya yaitu bercocok tanam, peternakan dan berburu, serta
perdaganan.
Berikut ini Raja-raja Bali
sebelum Majapahit yang datanya di dapat berdasarkan prasasti :
1. Sri Kesari Warmadewa (Saka
835/913M)
2. Sri Ugrasena (Saka
837-864/915-942M)
3. Agni Nripati (Saka
841-875/953-953 M)
4. Tabanendra Warmadewa (Saka
877-889/955-967 M)
5. Candrabhaya Singha Warmadewa
(Saka 878-896/956-974M) –> Pendiri Tirta Empul.
6. Jana Sadhu Warmadewa (Saka
897/975M)
7. Gunapryadharmapatni-Dharmodayana
Warmadewa (Saka 910-933/998-1011M)
Memiliki tiga
Putra :
a. Airlangga
(Kemudian menjadi Raja Kahuripan/Sebelum disebut Kadiri)
b. Marakata
c. Anak Wungsu
8. Sri Adnya Dewi (Saka
933-938/1011-1016M)
9. Marakata Pangkaja Sthana
Tunggadewa (Saka 938-962/1016-1040M)
10. Anak Wungsu (Saka
971-999/1049-1077M)
11. Sakalendu Kirana (Saka
1020-1023/1088-1101M)
12. Suradipa (Saka
1037-1041/1115-1119M)
13. Jaya Çakti (Saka
1055-1072/1133-1150M)
14. Ragajaya (Saka
1077-1092/1155-1170M)
15. Jayapangus (Saka
1099-1103/1177-1181M)
16. Arjaya Deng Jayaketana (Tidak
diketemukan tahunnya, namun dari cara penulisan dan isinya diperkirakan antara
Jayapangus dengan Ekajayalancana)
17. Ekajayalancana (Saka
1122-1126/1200-1204M)
18. Adhikuntiketana (Saka
1126/1204M)
19. Masula Masuli
20. Pameswara Sri Hyangning Hyang
Adhidewalancana (Saka 1182-1208/1260-1286M)
Serangan Prabhu Kerthanegara Raja
Singhasari Saka 1208/1286M
Pemerintahan Bali di bawah
Singhasari :
1. Kryan Demung Sasabungalan
(Saka 1206/1284M)
2. Kebo Parud Makakasir (Saka
1206-1246/1284-1324M)
a. Kedatangan para Arya dan
Rohaniwan Kerajaan Singhasari
b. Kedatangan Para Mpu Keturunan
Sapta Rsi bersama Bhujangga
Runtuhnya Singhasari, Bali
kembali Mandiri :
1. Bethara Sri Maha Guru (Saka
1246/1324M)
2. Sri Walajaya Krethaningrat
(Saka 1250-1259/1328-1337M)
3. Asta Sura Ratna Bumi Banten (Saka
1259-1265/1337-1343M)kap tebuka dalam mengeluarkan pendapat.
Demikian sejarah kerajaan Bali Kuno yang saya kutip dari
berbagai sumber, semoga bermanfaat…..
No comments:
Post a Comment