PENINGGALAN KERAJAAN GELGEL
Sudah menjadi sifat alamiah jika
suatu peradaban meninggalkan berbagai macam benda atau tempat bersejarah.
Kebesaran dari Kerajaan Gelgel dapat kita lihat dari adanya beberapa
peninggalan berikut ini :
1. Pura Sagening Gelgel
2. Kertha Gosa
Kertha gosa adalah kompleks
bangunan kuno yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Klungkung pertama,
Dewa Agung Jambe, pada abad ke-17. Dewa Agung Jambe adalah putera ke-2 dari
Dalem Dimade yang merupakan raja terakhir di kerajaan Gelgel yang juga disebut
Suweca Pura.
Setelah Dewa Agung Jambe menjadi
raja Klungkung, maka dia membuat istana (puri) Klungkung yang diberi nama
Semara Pura yang memunyai arti “tempat
cinta kasih dan keindahan”. Di puri
inilah terdapat kompleks Kertagosa yang terdiri dari dua bangunan pokok, yaitu
bangunan Taman Gili dan bangunan Kertagosa.
Bangunan Kertagosa pada zaman
dahulu mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai tempat persidangan yang dipimpin
oleh raja sebagai hakim tertinggi,
sebagai tempat pertemuan bagi raja-raja yang ada di Bali dan sebagai tempat melaksanakan upacara Manusa
Yadnya atau potong gigi (mepandes) bagi putera-puteri raja.
Pada masa pemerintahan Raja Dewa
Agung Putra Djambe, Belanda melakukan
penyerangan secara besar-besaran (selama tiga hari). Penyerangan itu
mengakibatkan Puri Semara Pura hancur. Hanya ada beberapa bangunan yang tersisa
antara lain bangunan Kertagosa, Taman Gili dan Pemedal Agung (pintu gerbang
Puri). Dalam penyerangan yang kemudian dikenal sebagai “Persitiwa Puputan
Klungkung” ini (28 April 1908) Dewa Agung Putra Djambe dan para pengikutnya
gugur.
Setelah dikuasai oleh Belanda,
Kertagosa tetap difungsikan sebagai balai sidang pengadilan. Pada tahun 1930
lukisan wayang yang terdapat di Kertagosa dan Taman Gili direstorasi oleh para
seniman lukis dari Kamasan. Dalam restorasi tersebut, lukisan yang menghiasi
langit-langit bangunan yang semula terbuat dari kain dan parba diganti dan
dibuat di atas eternit, lalu dibuat lagi sesuai dengan gambar aslinya.
Restorasi lukisan terakhir dilakukan pada tahun 1960.
Bangunan Kertagosa dan Taman Gili
terdiri atas dua lantai. Atap bangunan
terbuat dari ijuk dan dilengkapi dengan undak (tangga naik). Atap tersebut diberi tambahan yang berupa
hiasan patung dan relief (mengelilingi bangunan). Di samping itu pada langit-langit (plafon)
diberi tambahan hiasan berupa lukisan tradisional bermotif wayang yang dilukis
dengan gaya Kamasan. Lukisan yang ada di
langit-langit bangunan Taman Gili berisi tentang cerita Sutasoma, Pan Brayut
dan Palalintangan. Sedangkan, pada
langit-langit bangunan Kertagosa lukisannya mengambil cerita Ni Dyah Tantri,
Bima Swarga, Adi Parwa dan Pelelindon. Tema pokok dari cerita-cerita itu adalah
parwa, yaitu Swaragaronkanaparwa yang memberi petunjuk hukum kerpa pahala/
karma phala (akibat dari baik-buruknya perbuatan yang dilakukan manusia selama
hidupnya) serta penitisan kembali ke dunia karena perbuatan dan dosa-dosanya.
3. Pura Dasar Bhuana
Pura Dasar Bhuana di Desa Gelgel,
Klungkung merupakan salah satu peninggalan sejarah Klungkung yang
notabenesebagai pusat kerajaan di Bali. Selain sebagai satu-satunya pura dasar
yang ada di Bali, pura ini juga memiliki keunikan dan fungsi khusus.
Pura Dasar Bhuana terletak di
Desa Gelgel, Klungkung. Dari Denpasar, berjarak sekitar 42 kilometer. Pura ini
berdiri di atas lahan yang cukup luas. Berdiri megah dan tampak asri di pinggir
jalan utama Gelgel-Jumpai. Sebagimana umumnya Pura-pura di Bali, Pura Dasar
Bhuana memiliki tiga mandala yaitu Nista Mandala, Madya Mandala dan Utama
Mandala.
Pura Dasar Bhuana dibangun Mpu
Dwijaksara dari Kerajaan Wilwatikta (Kerajaan Majapahit) pada tahun Caka 1189
atau tahun 1267 Masehi. Pura ini merupakan salah satu Dang Kahyangan Jagat di
Bali. Pada masa Kerajaan Majapahit, Pura Dang Kahyangan dibangun untuk
menghormati jasa-jasa pandita (guru suci). Pura Dang Kahyangan dikelompokkan
berdasarkan sejarah. Di mana, pura yang dikenal sebagai tempat pemujaan di masa
kerajaan di Bali, dimasukkan ke dalam kelompok Pura Dang Kahyangan Jagat. Keberadaan
Pura Dang Kahyangan tidak bisa dilepaskan dari ajaran Rsi Rena dalam agama
Hindu.
Pura atau Ashram yang dibangun
pada tempat di mana Maharsi melakukan yoga semadi adalah sebagai bentuk
penghormatan kepada Sang Maharsi. Seperti Pura Silayukti di Karangasem.
Silayukti diyakini sebagai tempat moksanya Mpu Kuturan. Demikian pula dengan
Pura Dasar Bhuana Gelgel yang dibangun sebagai penghormatan terhadap Empu
Ghana. Di pura inilah Mpu Ghana yang dikenal sebagai seorang Brahmana yang
memiliki peran penting perkembangan agama Hindu di Bali, beryoga semadi
(berparahyangan).
Selain sebagai Dang Kahyangan,
pura yang berjarak sekitar 3 kilometer dari Kota Semarapura, Klungkung itu juga
merupakan pusat panyungsungan catur warga yang berasal dari soroh/ klan di antaranya
soroh/ klan Satria Dalem, Pasek (Maha Gotra Sanak Sapta Rsi), soroh Pande
(Mahasamaya Warga Pande) dan klan Brahmana Siwa. Semuanya merupakan pengabih
Ida Batara di Pura Dasar Bhuana Gelgel.
Masing-masing warga memiliki
panyungsungan, seperti Meru Tumpang Solas tempat panyungsungan Para Arya dan KSatria
Dalem. Meru Tumpang Tiga tempat panyungsungan Keturunan Mpu Geni yang
menurunkan trah Pasek. Meru Tumpang Tiga sebagai penyungsungan warga Pande.
Padma Tiga yang berada di antara Meru Tumpang Solas dan Meru Tumpang Sia
(sembilan), panyungsungan warga Brahmana. Dengan banyaknya soroh yang ada di
dalamnya, diyakini Pura Dasar Bhuana merupakan pemersatu jagat dengan konsep
bersatunya semua klan yang ada di Bali dengan konsep ''kaula gusti menunggal''.
Pura yang dibangun di atas areal
cukup luas itu, juga menjadi panyungsungan Subak Gde Suwecapura. Di antaranya
Subak Pegatepan, Kacang Dawa, Toya Ehe dan Toya Cawu. Panyungsungan dilakukan
saat Karya Pedudusan Agung lan Pawintenan yang bertepatan dengan Purnama Kapat.
Pura Dasar Bhuana di-empon Desa
Pakraman Gelgel yang terdiri atas 28 banjar dan tiga desa dinas yaitu Desa
Gelgel, Desa Kamasan dan Desa Tojan. Keberadaannya berkaitan erat dengan
keberadaan Keraton Suwecapura tempo dulu yang juga berada di Gelgel. Namun,
jika melihat tahun berdirinya, pura ini sudah ada jauh sebelum Gelgel
diperintah raja pertama, Dalem Ketut Ngulesir (1380-1400). Pura yang merupakan
warisan maha-agung ini didirikan pada tahun Saka 1189 atau tahun 1267 Masehi.
Sampai saat ini sejumlah situs
peninggalanKerajaan Suwecapura masih tetap dilestarikan di pura ini.
No comments:
Post a Comment