DINASTI DALEM SRI KRESNA KEPAKISAN
I.
Silsilah Keturunan Sri Kresna Kepakisan
Dasar
Bhuwana diistanakan Raja (Dalem) pertama di Bali.
Kepakisan
asal katanya Pakis berarti Paku. Gelar
Kepakisan diberikan kepada Brahmana yang ditugasi sebagai Raja (Dalem) atau
Kesatria. Gelar Kepakisan yang diberikan
kepada Kesatria adalah : Sira-Arya Kepakisan. Beliau adalah keturunan Sri
Jayasabha, berasal dari keturunan Maha Raja Airlangga, Raja Kahuripan (Jawa).
Gelar Paku di Jawa pertama kali digunakan oleh Susuhunan Kartasura: Paku Buwono
I pada tahun 1706 M.
Diceritakan
Mpu Wira Dharma berputra tiga orang yaitu : Mpu Lampita, Mpu Adnyana, dan Mpu
Pastika. Selanjutnya Mpu Pastika berputra dua orang yaitu : Mpu Kuturan
berasrama di Lemah Tulis dan Mpu Beradah pergi ke Daha serta menjadi pendeta
kerajaan (bhagawanta) dari Raja Airlangga dan dikaitkan dengan cerita
Calonarang yang amat terkenal di Bali. Kemudian Mpu Beradah berputra seorang
yang bernama Mpu Bahula yang kemudian kawin dengan Ratnamanggali. Dari
perkawinan ini lahirlah beberapa putra: Mpu Panawasikan, Mpu Asmaranatha, Mpu
Kepakisan dan Mpu Sidimantra. Akhirnya Mpu Panawasikan berputra: Mpu Angsoka, dan
Mpu Nirartha. Mpu Kepakisan yang berputra empat orang yaitu: tiga putra dan
seorang putri. Putra yang bungsu Mpu Kresna Kepakisan yang diangkat menjadi
raja di Bali.
Dengan demikian Sri Kresna Kepakisan yang menjadi Raja di Bali adalah dari keturunan Brahmana yang kebangsawanannya diubah menjadi kesatrya atau dari Danghyang/ Mpu menjadi Sri.
II.
Pengangkatan Dinasti Sri Kresna Kepakisan
Dalem
Ketut kemudian bergelar Dalem Sri Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan
Kerajaan Bali Dwipa pada tahun 1350 M atau 1272 isaka. Oleh penduduk Bali
beliau disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh atau Dalem Tegal Besung. Dalam
Perjalanannya dari Majapahit ke Pulau Bali rombongan dari majapahit mendarat di
pantai Lebih, kemudian ke arah timur laut menuju Samprangan
Dalam
pemerintahannya Dalem Sri Kresna Kepakisan didampingi oleh Arya Kepakisan/ Sri
Nararya Kresna Kepakisan yang menjabat sebagai Patih Agung berasal dari Dinasti
Warmadewa yang merupakan keturunan Raja atau Kesatrya Kediri. Sehingga baik
Adipati maupun Patih Agungnya berasal dari satu desa yaitu desa Pakis di Jawa
Timur sehingga setibanya beliau di Bali menggunakan nama yang hamper sama yaitu
Adipatinya bergelar Sri Dalem Kresna Kepakisan sedangkan patih agungnya
bergelar Arya Kepakisan atau Sri Nararya Kresna Kepakisan
Dalam
pemerintahannya dalem didampingi oleh Ki Patih Wulung yang menjabat sebagai
Mangku Bumi. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke Samprangan
(Samplangan). Dipilihnya Daerah
Samprangan karena ketika ekspedisi Gajah Mada, desa Samprangan mempunyai arti
historis, yaitu sebagai perkemahan Gajah Mada serta tempat mengatur strategi
untuk menyerang kerajaan Bedahulu. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa jarak desa
Bedahulu ke Samprangan hanya kurang lebih 5 km.
Dari
Babad Dalem diketahui bahwa dalam menjalankan pemerintahan sebagai wakil dari
Majapahit di Pulau Bali Dalem Sri Kresna Kepakisan dibekali dengan pakaian
kebesaran kerajaan dan sebilah keris yang bernama Si Ganja Dungkul yang
memberikan konsep kebudayaan yang memadukan kebudayaan Jawa dengan Bali, dan tanda-tanda
kebesaran itu berfungsi sebagai symbol atau lambang kekuasaan yang sah.
Dalem
Sri Kresna Kepakisan memiliki dua orang istri, yaitu yang pertama: Ni Gusti Ayu
Gajah Para, merupakan putri dari Arya Gajah para melahirkan:
1.
Dalem Wayan (Dalem Samprangan)
2.
Dalem Di-Madia (Dalem Tarukan)
3.
Dewa Ayu Wana (putri, meninggal ketika masih anak-anak)
4.
Dalem Ketut (Dalem Ketut Ngulesir).
Dari
Istri yang kedua: Ni Gusti Ayu Kuta Waringin merupakan putri dari Arya
Kutawaringin, melahirkan:
Dewa
Tegal Besung.
III.
Sistem Pemerintahan
Masa
pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Bali merupakan awal terbentuknya dinasti
baru yaitu dinasti Kresna Kepakisan yang kemudian berkuasa di Bali sampai awal
abad ke-20 (1908). Beliau membawa pengaruh-pengaruh baru dari Majapahit
termasuk para bangsawan. Bangsawan baru ini merupakan kelompok elite yang
menempati status dan peranan penting atas struktur pelapisan masyarakat Bali.
Hal ini sekaligus menggeser kedudukan dan peranan bangsawan dari kerajaan Bali
Kuno.
Semasa
pemerintahan Sri kresna Kepakisan di Samprangan diwarnai dengan
pemberontakan-pemberontakan di desa-desa Bali Aga seperti: desa Batur, Cempaga,
Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro,
Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan,
Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain. Atas peristiwa
pemberontakan yang terus-menerus Dalem merasa putus asa dan mengirim utusan ke
Majapahit, melaporkan bahwa Dalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk
memecahkan persoalan ini, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Kresna
Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran dan
keris pusaka Ki Lobar disamping keris yang bernama Si Tanda Langlang yang
terlebih dahulu beliau bawa.
IV.
Sistem Kepemimpinan
Raja
yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia, memegang otoritas politik
tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Dalam melaksanakan
pemerintahan, raja dibantu sejumlah pejabat birokrasi. Para putra dan kerabat
dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Para putra mahkota
sebelum menjadi raja biasanya mereka diberi kedudukan sebagai raja muda
(Yuwaraja). Raja dibantu oleh suatu lembaga yang merupakan dewan pertimbangan
pada raja. Anggotanya ialah para sanak saudara raja. Dalam kekawin Negara
Kertagama disebut dengan nama Pahem Narendra
Jabatan
yang lain ialah Dharma Dhyaksa ialah pejabat tinggi kerajaan yang bertugas
menjalankan fungsi yurisdiksi keagamaan. Ada dua Dharma Dhyaksa yaitu Dharma
Dhyaksa ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa, dan Dharma Dhyaksa ring
Kasogatan untuk urusan agama Budha. Dalem Sri Kresna Kepakisan dalam
menjalankan pemerintahannya di bantu oleh para Arya yang terlebih dahulu
menetap di Bali yang kedatangannya bersamaan dengan ekspedisi Majapahit bersama
Patih Gajah Mada juga dibantu para Arya yang menyertai perjalanan Dalem Sri
Kresna Kepakisan dari Majapahit ke Bali. Para arya tersebut diantaranya :
1
Arya Kenceng mengambil tempat di Tabanan
2
Arya Kanuruhan mengambil tempat di Tangkas
3
Kyai Anglurah Pinatih Mantra di Kertalangu
4
Arya Dalancang mengambil tempat di Kapal
5
Arya Belog mengambil tempat di Kaba Kaba
6
Arya Pangalasan
7
Arya Manguri
8
Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas mengambil tempat di Toya Anyar
9
Arya Temunggung mengambil tempat di Petemon
10
Arya Kutawaringin bertempat tinggal di Toya Anyar Kelungkung
11
Arya Belentong mengambil tempat di Pacung
12
Arya Sentong mengambil tempat di Carangsari,
13
Kriyan Punta mengambil tempat di Mambal
14
Arya Jerudeh mengambil tempat di Tamukti
15
Arya Sura Wang Bang asal Lasem mengambil tempat di Sukahet
16
Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di mana-mana
17
Arya Melel Cengkrong mengambil tempat di Jembrana
18
Arya Pamacekan mengambil tempat di Bondalem,
19
Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si Tan Mundur
di Cegahan
Demikian
dikatakan di Babad Dalem.
V.
Kehidupan beragama
Mengenai
kehidupan beragama pada masa kerajaan Samprangan tidak begitu banyak diketahui
karena kerajaan Samprangan berlangsung tidak begitu lama yaitu kurang dari
setengah abad. Selain itu keadaan pemerintahan belum stabil sebagai akibat
munculnya pemberontakan pada desa-desa Bali Aga. Agama yang dianut masyarakat
pada masa ini adalah diduga Siwa-Budha, dimana dalam upacara-upacara keagamaan
kedua pendeta itu mempunyai peranan yang penting. Apabila ditinjau dari segi
jumlah penganut dan pengaruhnya, agama Siwa tergolong lebih besar dari agama
Budha, karena menurut sumber-sumber arkeologi agama Siwa berkembang lebih dulu
dari agama Budha. Agama Siwa yang dipuja ketika ini adalah dari aliran
Siwa-Sidhanta dengan konsep ke-Tuhanannya yang disebut Tri Murti yaitu tiga
kemahakuasaan Hyang Widhi: Brahma, Wisnu, dan Siwa. Ketiga Dewa Tri Murti tadi
akhirnya dimanifestasikan ke dalam setiap desa adat di Bali yang terkenal
dengan nama Pura Kahyangan Tiga, yaitu: Pura Desa/Bale Agung sebagai sthana
dari Dewa Brahma, Pura Puseh sthana Wisnu dan Pura Dalem sthana Siwa. Selain
pura-pura untuk pemujaan Hyang Widhi beserta manifestasinya juga terdapat
tempat pemujaan untuk roh suci leluhur yakni Bhatara/Bhatari yang disebut:
Sanggah/Pemerajan, Dadia/Paibon, Padharman.
Di
Gelgel, semasa pemerintahan Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan dibangun pula
Pura Dasar Bhuwana yang disungsung oleh warga keturunan Ide Bethara Dalem Sri
Kresna Kepakisan, Ide Bethara Mpu Gnijaya (Pasek Sanak Sapta Rsi), dan
keturunan Ide Bethara Mpu Saguna (Maha Smaya Warga Pande).
Kehidupan
seni budaya ketika itu telah berkembang dengan baik sebagai kelanjutan
perkembangan seni budaya jaman Bali Kuna abad 10-14 M. Ketika itu masyarakat
Bali telah mengenal beberapa jenis kesenian seperti: lakon topeng, diman pada
jaman Bali Kuna disebut dengan nama pertapukan. Demikian pula tontonan wayang
telah dikenal pada masa Bali Kuna yang disebut Parwayang. Seni tabuh telah pula
dikenal dalam prasasti Bali Kuna disebut-sebut nama alat pemukul gamelan,
tukang kendang, peniup seruling dan lain- lainnya Ketika masa Samprangan
masyarakat Bali telah mengenal beberapa kitab kesusastraan yang berfungsi
sebagai penuntun kejiwaan masyarakat, sehingga mereka dapat berbuat sesuai
dengan ajaran-ajaran agama. Beberapa kitab kesusastraan yang dikenal ketika
masa Samprangan adalah: kesusastraan Calonarang, Bharatayuddha, Ramayana,
Arjuna Wiwaha dan lain-lain.
VI.
Akhir Pemerintahan Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan
Dalem Sri Kresna Kepakisan moksah pada tahun 1373 M atau 1295 isaka.
Beliau digantikan oleh putranya yang tertua yaitu Dalem Wayan, bergelar Dalem
Sri Agra Samprangan.
No comments:
Post a Comment